Thursday, 29 December 2016

Merasakan Hidup di Amerika: Pengalaman Maya Maulina, Exchange Student UGRAD Program


Aku punya impian, yang mungkin bagi sebagian orang adalah sesuatu yang sulit untuk dicapai, akan tinggal hanya sebagai sebuah impian saja. Untuk gadis dari desa sepertiku yang tidak punya uang banyak untuk jalan-jalan ke luar negri, apalagi ke Amerika, kedengarannya impianku ini benar-benar mustahil untuk diwujudkan. Rasanya sama saja seperti mengharapkan si kucing abu-abu kesayanganku yang sudah tua berubah menjadi unicornberwarna pink, ya, sesuatu yang sama sekali mustahil! Tapi bagiku, tidak ada yang mustahil sepanjang kita berusaha keras mencapainya. 

Ceritanya bermula dari suatu siang di bulan Juni 2013, waktu itu aku dengan teman-temanku lagi nunggu dosen untuk mata kuliah Public Speaking. Mereka asyik ngobrol tentang salah seorang senior kami yang baru pulang dari ngikutin program pertukaran pelajar selama setahun di Amerika. Mendengar cerita teman-teman, anganku melambung tinggi, seolah-olah aku berlari di atas pasir pautih di tepi pantai dengan pemandangan laut yang mempesona, tapi anehnya, aku tidak bisa menikmatinya, karena ada ular hitam jelek yang mengejarku, piuf! Saat itu rasanya hormon epinephrine masuk ke darahku, membuat nafasku tersengal-sengal dan hatiku berdegup kencang. Aku merasa sangat excited, terispirasi, juga iri, semua terjadi pada saat yang bersamaaan. 

Selanjutnya yang aku sadari, aku asyik men-scroll layar telpon genggamku, seharian  membaca tweets seniorku tentang bagaimana dia bisa mengikuti program pertukaran pelajar tersebut. Rasanya tidak percaya bahwa aku begitu terobsesi dengan pengalaman seniorku tinggal dan belajar di Amerika. Akhirnya, di suatu hari yang cerah di bulan Agustus 2013, aku memantapkan diri mengisi form Global UGRAD Program. Program inilah yang membuatku bisa menapakkan kaki dan mengalami hidup di Amerika, Thank You!

Lalu mulailah fase demi fase seleksi kuikuti dengan penuh perjuangan dan pengharapan. Mulai dari mempersiapkan dokumen yang dipersyaratkan, menjalani interview dengan tenang, belajar siang malam untuk persiapan  iBT test, dan menanti pengumuman dengan sabar. Akhirnya, walaupun ada suara-suara sumbang  yang menganggap perjuanganku akan sia-sia, aku bisa membuktikan, bahwa aku berhasil memperoleh apa yang aku yakini aku mampu menggapainya. Setelah  menyisihkan ribuan saingan, aku, bersama empat mahasiswa lainnya, lolos menjadi salah satu awardee  beasiswa  Global Undergraduate (UGRAD) Student Exchange Scholarship Program, beasiswa yang bergengsi dan sangat kompetitif! Alhamdulillah… 

Beasiswa ini diberikan oleh Department of States, yang diorganisir oleh  World Learning, bertempat di Washington D.C. Aku mewakili Indonesia untuk belajar di Missouri State University, dengan mengambil bidang Sastra Inggris. Sejak saat itu, aku berkesempatan merasakan kehidupan kampus di Amerika, juga berkenalan dengan banyak orang dari berbagai penjuru dunia.

Selama proses meng-apply beasiswa, aku juga menghadapi cobaan berupa cemoohan, bahkan dari teman dekatku sendiri, yang menganggap bahwa anganku untuk kuliah di Amerika adalah angan kosong belaka. Namun begitu, cemoohan yang kuterima malah semakin menguatkan tekadku untuk meraih apa yang ku cita-citakan. Dan akhirnya terbukti keberhasilanku memperoleh beasiswa UGRAD menjadi capaian terbesarku selama masa kuliah s1-ku. Mottoku:
“No matter how many people tell you to quit, DON'T! It's your dreams, not theirs.”

Aku berangkat ke Amerika pada Januari 2015, di musim dingin yang indah. Sebelum berangkat, aku menyempatkan menginap semalam di Jakarta untuk keesokan harinya menuju kantor AMINEF guna mengambil visa dan uang saku selama dalam perjalanan sebesar $150. Ini pengalaman pertamaku ke luar negri, dan aku berangkat sendiri, ya, benar-benar sendiri!. Rute yang kutempuh selam 28 jam adalah Banda Aceh-Medan-Jakarta-Tokyo-Chicago-Springfield.  Pukul 01.00 malam waktu setempat barulah pesawat yang kutumpangi landing. Harusnya aku bisa tiba lebih awal, namun pesawat harus delay lebih kurang dua jam di Chicago karena badai salju, dan itulah kali pertama aku melihat salju secara langsung, dari balik jendela pesawat...indah sekali…

Tiba di bandara, supervisorku yang baik dan ganteng, Hunter Klie, sudah dari tadi menunggu. Setelah berbasa-basi sebentar, aku pun diantar ke hotel kampus yang semua biayanya diurus oleh supervisorku.
 

Keesokan harinya dengan dijemput supervisorku yang menumpangi mini bus dari kampus, aku bersama peserta UGRAD dari manca negara menuju kampus untuk mengikuti orientasi pengenalan kampus. Kami menuju kampus masih sambil menenteng koper-koper kami. Orientasi yang dilaksanakan dari pagi itu dimulai dengan jalan-jalan keliling kampus supaya kami tahu dimana letak pustaka, ruang kuliah, kantin, dan lainnya. Hari itu juga kami memperoleh ID card yang sudah terisi voucher untuk makan 3x sehari di kantin dan berlaku selama kami tinggal di sana. Selain itu juga ada tambahan sebesar $250 dolar untuk kami makan di PSU (Plester Student Union). Selain voucer makan, ada juga voucer untuk menggunakan computer, print, scan, dan fotocopy.

Sedikit aku ingin membahas soal makanan. Di kota Springfield ini, aku tak perlu khawatir soal kehalalan makanan, karena di kantin kampus makanan yang halal memang diberi label halal. Pernah ketika suatu ketika aku memesan beef untuk makan siangku di rumah makan di luar kampus, sang chef mendatangiku dengan mengatakan bahwa beef yang kupesan tidak halal karena sebelumnya dia memasak pork menggunakan panci yang sama. Dia menawarkan bagaimana kalau aku menunggu sedikit agak lama supaya dia bisa memasak pesananku dengan menggunakan panci yang berbeda. Khawatir menunggu lama, aku mengganti pesananku dengan memilih seafood. Hal ini tentunya terjadi karena aku memakai jilbab sebagai identitas kemuslimanku. Begitulah hidup di Springfield, kota yang dihuni oleh masyarakat yang mayoritas penduduknya beragama Nasrani, namun bersikap terbuka untuk mereka yang memiliki keyakinan yang berbeda.  

Ok, kita lanjut tentang hari pertamaku di kampus ya. Setelah makan siang, kami diperkenalkan dengan dosen-dosen, para staf di international office, juga saling berkenalan secara formal dengan sesama peserta UGRAD. Sore hari barulah kami diantar ke asrama kampus. Aku menempati asrama yang berbentuk apartemen yang diberi nama “Hammons House”. Layaknya sebuah apartemen, asrama yang kutempati terdiri dari dua kamar yang dihuni oleh dua student. Roommateku semuanya dari Amerika. 

Mengenai biaya hidup (living allowance), ditransfer pada tanggal 1 setiap bulan, jumlahnya $400. Jumlah ini sangat cukup karena hanya digunakan untuk uang saku dan beli pulsa. Untuk beli buku ada dana lain. Begitu pun seandainya aku ingin traveling, seperti yang pernah kulakukan misalnya, ke New York (seorang diri loh!), aku tinggal mengirim email ke pihak sponsor, lalu mereka akan mengirim form yang perlu ku isi untuk pencairan dana traveling. 

Sebelum perkuliahan dimulai, aku berkonsultasi terlebih dahulu dengan supervisorku tentang mata kuliah yang akan kuambil. Disini aku boleh mengambil maksimal 15SKS, namun kuputuskan mengambil 12 SKS saja, yang terdiri dari dua mata kuliah seperti yang kuperoleh di negara asal, satu mata kuliah tentang Amerika, dan satunya lagi mata kuliah bebas. Untuk dua mata kuliah pertama aku mengambil writing composition yang tingkat kesulitannya setingkat academic writing dan satu lagi mata kuliah literature. Untuk mata kuliah academic writing, benar-benar kami diharuskan menulis tanpa ada plagiat sama sekali, setiap kutipan harus ada referensinya yang mengacu pada format MLA referencing. Lain lagi dengan mata kuliah Literature, yang setiap minggunya kami diberi tugas mereview short story, novel atau poetry yang sudah ditentukan judulnya di buku panduan mata kuliah. Setiap minggu pasti ada quiz karena nilai kehadiran dihitung berdasarkan kemampuan menjawab soal yang diberikan. Jadi walaupun hadir di kelas tapi tidak bisa menjawab soal, dianggap tidak hadir, tweng weng weng…

Kelas-kelas yang kuhadiri benar-benar dijalankan dengan setepat-tepatnya oleh dosen pengasuh mata kuliah. Misalkan masuk kelas pukul 15.00 dan berakhir pada pukul 16.40, maka kuliah tidak akan dimulai sebelum tepat pukul 15.00 walaupun sang dosen sudah hadir di kelas beberapa menit sebelumnya, juga tidak akan keluar dari kelas sebelum sesi kuliah berakhir pada menit tersebut, piuh! Pernah suatu ketika terjadi badai salju sehingga kelas harus diliburkan, tetap saja ada tugas yang diberikan. 

Dua mata kuliah lainnya, kupilih American Culture, yang metode kuliahnya didominasi dengan presentasi in pair, dan kelas Bahasa Spanyol level beginner. Kelas yang terakhir ini diasuh oleh professor asal Venezuela. Semua mahasiswa di kelas, kecuali aku, adalah rakyat Amerika, dan mereka sudah pernah mempelajari bahasa Spanyol sebelumnya di sekolah menengah. Namun, walaupun aku satu-satunya mahasiswa yang belum pernah bersentuhan dengan bahasa Spanyol, namun, akulah yang paling unggul ketika diminta mengucapkan abjad bahasa Spanyol, ya, karena cara pengucapannya kurang lebih sama dengan bahasa Indonesia, hehe… Juga ketika diminta membaca sebuah essay pendek, akulah yang paling fasih:D 

Selama mengikuti kuliah, aku tidak memiliki masalah dalam menjalankan waktu shalat, karena memang aku memilih kelas yang tidak berbenturan dengan jam melaksanakan shalat. Namun begitu, bagi yang hendak menunaikan shalat, mereka diizinkan untuk keluar kelas, dan peraturan itu tercantum di silabus semua mata kuliah. Ya, kebebasan beragama benar-benar dijunjung tinggi, Alhamdulillah… Di Missouri State University ini memang tidak ada mushalla untuk shalat, tapi ada ruangan di perpustakaan yang dapat dipergunakan untuk tempat menunaikan shalat. Bagi yang ingin menunaikan shalat di Mesjid, biasanya untuk shalat Jum’at, masjid terdekat hanya berjarak 15 menit dari kampus dengan mobil.

Di Missouri State University ini, ada kelas Religious Studies. Setiap minggunya diadakan sesi untuk menjelaskan dan mengetahui lebih banyak tentang agama lain. Kebetulan minggu itu adalah sesi untuk agama Islam. Mahasiswa muslim yang akan menghadiri acara itu hanya sekitar tiga orang, termasuk aku. 

Pada hari yang telah ditentukan, aku pun hadir di kegiatan tersebut, ternyata, dua mahasiswa muslim lainnyatidak jadi hadir, walhasil, hanya aku sendiri yang muslim dan sendiri juga untuk menjawab berbagai pertanyaan yang menghadang, piuh! Memulai acara, aku ditodong untuk memberi presentasi dengan judul “Women in Islam”. Tanpa persiapan, karena memang tidak ada pemberitahuan sebelumnya, maka, “Bismillah”, ku awali dengan, “Women in Islam are just like women in the other part of this world, they study, eat and poop,” yang langsung disambut dengan tawa dari hadirin. Presentasi yang berlangsung selama 90 menit berjalan lancar. Lalu disambung dengan tanya jawab, macam-macam pertanyaan yang mereka lontarkan, mulai dari wajibkah berhijab, tentang shalat, larangan memakan babi, pluralisme di Indonesia, relationship (taaruf)….. dan lain-lain.

Hari-hariku di negeri Paman Sam adalah hari-hari indah yang tak terlupakan. Aku berteman dengan orang-orang yang tidak seumuran denganku, hang out dengan teman-teman yang bahasa ibunya tidak sama denganku. Aku juga berkesempatan mempelajari budaya yang berbeda, jalan-jalan ke tempat-tempat yang indah. Aku menari dengan gaya yang aneh di depan khalayak. Menyampaikan pidato dengan bahasa Inggris sebisaku di depan orang ramai, bahkan mengatakan hal yang tolol tapi lucu dalam bahasa yang sedang kupelajari-bahasa Spanyol. Namaku juga selalu salah disebut setiap kali aku memesan Starbucks. Aku juga tidak tau cara menyetor uang koin, jadi terpaksa uang koinnya kudeposit semua hahaha juga terkadang pakai baju yang tidak sesuai dengan cuaca karena aku tidak pernah mengecek prakiraan cuaca. Aku juga sempat berlibur ke New York City selama seminggu, sendirian! Dan aku merasa sangat bahagia, berkesempatan pergi ke mana saja, rasanya seperti gelembung sabun yang bebas terbang! akhirnya, aku bisa merasakan salju, yeay! Ya, pengalaman ini menjadi hal terindah dalam hidupku. 

Akhirnya saat itu tiba, aku harus kembali ke Aceh, Indonesia, menjalani hari-hariku kembali sebagai mahasiswi Pendidikan Bahasa Inggris di Universitas Syiah Kuala. Ada rasa aneh yang kurasakan ketika meninggalkan Amerika; bahwa aku kembali, tapi dengan pribadi yang berbeda. Ya, kesempatan menjadi seorang exchange student telah membuka mataku tentang dunia dan harapan-harapan baru untuk masa depanku, dan aku merasa sangat bersyukur kepada Allah, juga berterima kasih pada semua orang, yang telah membuat impianku menjadi kenyataan…

Saturday, 3 December 2016

Yuk, Simak Kisah Andri : Dongguk University Student Exchange Program




Ini kisah Andri Wardana, salah seorang mahasiswa kami di program studi Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Syiah Kuala, yang memperoleh beasiswa Global Korea Scholarship (GKS) untuk mengikuti program student exchange di bulan September hingga Desember 2015.

“Saya mendapat informasi tentang GKS dari website GKS dan studyinkorea.go.kr. Pendaftaran untuk mengikuti program student exchange ini dibuka pada bulan Mei dan bagi yang terpilih untuk mengikuti program tersebut akan diumumkan pada akhir Juni. Alhamdulillah saya lulus seleksi.

Jadilah saya yang saat itu memasuki semester 9, dan tidak mengambil cuti kuliah, memulai petualangan di Korea. Saya dijadwalkan akan tiba di bandara Incheon, Seoul, pada 26 Agustus pagi, dan akan ada pihak universitas yang bertugas menjemputnya. Namun di luar rencana, pada pagi tersebut, saya masih di Jakarta untuk urusan visanya yang belum kelar. Akhirnya saya baru bisa mendarat di bandara Incheon pada keesokan paginya. Walhasil, tidak ada seorangpun yang menjemput.

Syukurnya, saya sudah mengantisipasi kejadian tersebut dengan menonton tutorial di youtube seminggu sebelumnya, tentang cara menuju Dongguk University dari bandara Incheon. Tidak lupa tanya-tanya sedikit di Information Centre bandara, saya pun lalu naik subway yang memang salah satu tempat pemberhentiannya adalah di Dongguk University.

Pukul 12 waktu setempat, saya tiba di Universitas tujuan. Namun, saya kebingungan mencari office yang dituju, karena luasnya bangunan, dan semuanya menggunakan tulisan Korea. Akhirnya saya memberanikan diri bertanya pada salah seorang mahasiswa yang kebetulan lewat. Tapi… si mahasiswa tak bisa berbahasa Inggris. Maka saya pun menunjukkan kertas yang berisi peta dan nomor ruangan yang dituju. Si mahasiswa yang baik hati segera mengantar saya hingga sampai ke depan pintu Office of International Affair (OIA).   


Di office tersebut,  saya bertemu dengan coordinator GKS, Mr. Jae Hoon Jung, yang menjelaskan  segala sesuatunya. Yang membuat saya terkejut, ternyata living allowance baru akan diberikan pada akhir bulan September, yang berarti selama lebih sebulan ke depan, saya harus pakai uang sendiri dulu, sebelum dana untuk bulan tersebut dicairkan. Terang saja saya jadi bingung, karena uang yang tersisa hanya 25.000 Won, yang hanya cukup untuk bertahan hidup 2-3 hari. Akhirnya saya memutuskan menghubungi orang tua di Batu Bara, Sumatera Utara. Syukurlah orang tua saya segera mengirimkan dana yang saya butuhkan. Walaupun begitu, saya harus pandai-pandai berhemat.

Hari-hari pertama hidup di asrama kampus, saya hanya mengkonsumsi nasi instan dan kentang goreng. Selain untuk menghemat, saya tidak berani makan makanan di kantin kampus yang tidak jelas status halalnya.

Tantangan lain yang saya hadapi adalah dalam hal berkomunikasi. Saya belum bisa berkomunikasi dengan baik dalam bahasa Korea karena belum pernah belajar sebelumnya. Pelatihan bahasa Korea selama di Dongguk juga sangat singkat dan diadakan mulai minggu kedua ketika saya kuliah di Dongguk University. Namun, untuk membaca dan menulis Hangeul (abjad Korea) saya bisa, dan untuk sekadar menyapa orang, memperkenalkan diri, dan menanyakan harga di pasar saya juga bisa. 

Sebelum saya memulai kuliah di Dongguk University, koordinator program mengirimkan saya daftar mata kuliah yang diajarkan dalam bahasa Inggris untuk saya pilih berdasarkan minat dan keperluan. Pada awalnya saya memilih dua mata kuliah inti, yakni English on Media (3 sks) dan Academic Writing (3 sks). Namun koordinator program meminta saya untuk membatalkan Academic writing karena kelasnya sudah penuh. Selain itu saya juga mengambil Korean language course (3 sks).

 Di Dongguk University, bahasa pengantar yang umum digunakan dalam kegiatan belajar mengajar adalah bahasa Korea. Sebenarnya, ada beberapa mata kuliah yang diajarkan dengan menggunakan bahasa Inggris. Tetapi di kelas, profesor yang mengajar menggunakan sekitar 95% bahasa Korea ketika mengajar, hanya 5% beliau menggunakan bahasa Inggris. Beruntungnya, semua materi pembelajaran disajikan dalam bahasa Inggris.
Ada beberapa perbedaan dalam hal sistem pembelajaran di Dongguk dan di kampus Unsyiah tempat saya kuliah, namun yang paling kelihatan beda itu pada metode pengajarannya. Di kampus kami, para dosen mencoba untuk menerapkan metode pengajaran yang variatif dengan menuntut siswa untuk aktif selama proses pembelajaran berlangsung. Di Korea, di kelas yang saya ikuti, profesor saya mengajar dengan metode konvensional (lecturing), dimana beliau hanya memberikan kuliah dari awal hingga akhir. Lalu, pada beberapa kesempatan beliau memberikan waktu bagi mahasiswanya untuk bertanya. Sangat jarang kami diberi tugas untuk diskusi kelompok atau presentasi di depan kelas.

Pada program GKS ini, saya dikenalkan dengan seorang buddy yang juga seorang mahasiswa English Language and Literature di Dongguk University, namanya Jung Moon. Dia membantu saya untuk menyiapkan segala administrasi kampus, pendaftaran Alien Card (kartu identitas bagi warga asing di Korea), dan keperluan-keperluan lain selama saya tinggal dan kuliah di Dongguk University.

Teman-teman saya di kelas juga sangat ramah. Mereka sangat membantu dan koperatif. Terlebih lagi profesor saya, Huik Yong Pang. Beliau sangat kind-hearted dan ramah. Setelah kelas selesai, beliau biasanya memberikan waktu kepada saya untuk konsul dan menjelaskan kembali materi yang diajarkan. Bahkan beberapa kali beliau mentraktir saya dan beberapa teman lainnya untuk minum kopi dan makan siang bersama. Inilah yang membuat saya dan mahasiswa yang lain nyaman ketika belajar di kelas beliau.

Pada 18-19 September, program GKS menyelenggarakan Global Friendship Tour 2015 yang disponsori oleh Hyundai Motors. Even rekreasi ini diikuti oleh ratusan mahasiswa internasional dari beberapa kampus lainnya. Kami, rombongan mahasiswa Dongguk, pergi dengan dua unit bus. Pertama, kami berkunjung ke pabrik mobil KIA di Hwaseong dimana kami melihat langsung proses perakitan mobil buatan Korea ini dari awal hinggal akhir. Kemudian kami mengunjungi Gwangju Institute of Science and Technology di Provinsi Gwangju, pasar malam Daein Art, dan bermalam di Hwasun Kumho Resort. Esok harinya, kami melanjutkan perjalanan mengunjungi Damyang, sebuah perkampungan dimana kami belajar membuat manisan tradisional Korea. Sebelum kembali ke Dongguk, kami juga menikmati pemandangan alam yang indah di Damyang Metasequoia Road.

Masih banyak even-even lain yang diselenggarakan oleh program GKS, seperti international dinner, kuliah umum, berkunjung ke museum, kerajaan dan beberapa situs bersejarah lainnya. Selain itu, menjelang musim dingin, saya dan teman-teman lainnya juga mengikuti kegiatan voluntir yakni Kimjang, pembuatan kimchi, yang kemudian hasilnya didistribusikan kepada para kaum tua di distrik Singil, kota Seoul.

Belajar di sebuah negara yang memiliki iklim dan budaya yang sangat berbeda dengan Indonesia memberi saya begitu banyak ilmu dan pengalaman baru yang mengembangkan wawasan serta mengasah kemandirian saya. Itu semua tidak terlepas dari interaksi aktif saya selama program berlangsung. Tidak hanya menjalankan kegiatan-kegiatan program, saya juga membangun koneksi dengan teman-teman di Persatuan Pelajar Indonesia di Korea (PERPIKA) dan ASEAN Youth Network in Korea (AYNK).

Tidak terasa, Summer, Autumn hingga Winter saya lalui. Akhirnya, tibalah saatnya untuk saya kembali ke Aceh pada 22 Desember 2015. Tentu saja persahabatan dan kekeluargaan yang telah saya bangun dengan orang-orang luar biasa yang saya jumpai di Korea membuat saya enggan untuk berpisah. Ditambah lagi dengan kenyamanan belajar dan tinggal di kota Seoul membuat saya berat untuk meninggalkan negeri ini. Namun, saya harus pulang untuk melanjutkan perjuangan saya di Aceh.”