Saturday, 3 December 2016

Yuk, Simak Kisah Andri : Dongguk University Student Exchange Program




Ini kisah Andri Wardana, salah seorang mahasiswa kami di program studi Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Syiah Kuala, yang memperoleh beasiswa Global Korea Scholarship (GKS) untuk mengikuti program student exchange di bulan September hingga Desember 2015.

“Saya mendapat informasi tentang GKS dari website GKS dan studyinkorea.go.kr. Pendaftaran untuk mengikuti program student exchange ini dibuka pada bulan Mei dan bagi yang terpilih untuk mengikuti program tersebut akan diumumkan pada akhir Juni. Alhamdulillah saya lulus seleksi.

Jadilah saya yang saat itu memasuki semester 9, dan tidak mengambil cuti kuliah, memulai petualangan di Korea. Saya dijadwalkan akan tiba di bandara Incheon, Seoul, pada 26 Agustus pagi, dan akan ada pihak universitas yang bertugas menjemputnya. Namun di luar rencana, pada pagi tersebut, saya masih di Jakarta untuk urusan visanya yang belum kelar. Akhirnya saya baru bisa mendarat di bandara Incheon pada keesokan paginya. Walhasil, tidak ada seorangpun yang menjemput.

Syukurnya, saya sudah mengantisipasi kejadian tersebut dengan menonton tutorial di youtube seminggu sebelumnya, tentang cara menuju Dongguk University dari bandara Incheon. Tidak lupa tanya-tanya sedikit di Information Centre bandara, saya pun lalu naik subway yang memang salah satu tempat pemberhentiannya adalah di Dongguk University.

Pukul 12 waktu setempat, saya tiba di Universitas tujuan. Namun, saya kebingungan mencari office yang dituju, karena luasnya bangunan, dan semuanya menggunakan tulisan Korea. Akhirnya saya memberanikan diri bertanya pada salah seorang mahasiswa yang kebetulan lewat. Tapi… si mahasiswa tak bisa berbahasa Inggris. Maka saya pun menunjukkan kertas yang berisi peta dan nomor ruangan yang dituju. Si mahasiswa yang baik hati segera mengantar saya hingga sampai ke depan pintu Office of International Affair (OIA).   


Di office tersebut,  saya bertemu dengan coordinator GKS, Mr. Jae Hoon Jung, yang menjelaskan  segala sesuatunya. Yang membuat saya terkejut, ternyata living allowance baru akan diberikan pada akhir bulan September, yang berarti selama lebih sebulan ke depan, saya harus pakai uang sendiri dulu, sebelum dana untuk bulan tersebut dicairkan. Terang saja saya jadi bingung, karena uang yang tersisa hanya 25.000 Won, yang hanya cukup untuk bertahan hidup 2-3 hari. Akhirnya saya memutuskan menghubungi orang tua di Batu Bara, Sumatera Utara. Syukurlah orang tua saya segera mengirimkan dana yang saya butuhkan. Walaupun begitu, saya harus pandai-pandai berhemat.

Hari-hari pertama hidup di asrama kampus, saya hanya mengkonsumsi nasi instan dan kentang goreng. Selain untuk menghemat, saya tidak berani makan makanan di kantin kampus yang tidak jelas status halalnya.

Tantangan lain yang saya hadapi adalah dalam hal berkomunikasi. Saya belum bisa berkomunikasi dengan baik dalam bahasa Korea karena belum pernah belajar sebelumnya. Pelatihan bahasa Korea selama di Dongguk juga sangat singkat dan diadakan mulai minggu kedua ketika saya kuliah di Dongguk University. Namun, untuk membaca dan menulis Hangeul (abjad Korea) saya bisa, dan untuk sekadar menyapa orang, memperkenalkan diri, dan menanyakan harga di pasar saya juga bisa. 

Sebelum saya memulai kuliah di Dongguk University, koordinator program mengirimkan saya daftar mata kuliah yang diajarkan dalam bahasa Inggris untuk saya pilih berdasarkan minat dan keperluan. Pada awalnya saya memilih dua mata kuliah inti, yakni English on Media (3 sks) dan Academic Writing (3 sks). Namun koordinator program meminta saya untuk membatalkan Academic writing karena kelasnya sudah penuh. Selain itu saya juga mengambil Korean language course (3 sks).

 Di Dongguk University, bahasa pengantar yang umum digunakan dalam kegiatan belajar mengajar adalah bahasa Korea. Sebenarnya, ada beberapa mata kuliah yang diajarkan dengan menggunakan bahasa Inggris. Tetapi di kelas, profesor yang mengajar menggunakan sekitar 95% bahasa Korea ketika mengajar, hanya 5% beliau menggunakan bahasa Inggris. Beruntungnya, semua materi pembelajaran disajikan dalam bahasa Inggris.
Ada beberapa perbedaan dalam hal sistem pembelajaran di Dongguk dan di kampus Unsyiah tempat saya kuliah, namun yang paling kelihatan beda itu pada metode pengajarannya. Di kampus kami, para dosen mencoba untuk menerapkan metode pengajaran yang variatif dengan menuntut siswa untuk aktif selama proses pembelajaran berlangsung. Di Korea, di kelas yang saya ikuti, profesor saya mengajar dengan metode konvensional (lecturing), dimana beliau hanya memberikan kuliah dari awal hingga akhir. Lalu, pada beberapa kesempatan beliau memberikan waktu bagi mahasiswanya untuk bertanya. Sangat jarang kami diberi tugas untuk diskusi kelompok atau presentasi di depan kelas.

Pada program GKS ini, saya dikenalkan dengan seorang buddy yang juga seorang mahasiswa English Language and Literature di Dongguk University, namanya Jung Moon. Dia membantu saya untuk menyiapkan segala administrasi kampus, pendaftaran Alien Card (kartu identitas bagi warga asing di Korea), dan keperluan-keperluan lain selama saya tinggal dan kuliah di Dongguk University.

Teman-teman saya di kelas juga sangat ramah. Mereka sangat membantu dan koperatif. Terlebih lagi profesor saya, Huik Yong Pang. Beliau sangat kind-hearted dan ramah. Setelah kelas selesai, beliau biasanya memberikan waktu kepada saya untuk konsul dan menjelaskan kembali materi yang diajarkan. Bahkan beberapa kali beliau mentraktir saya dan beberapa teman lainnya untuk minum kopi dan makan siang bersama. Inilah yang membuat saya dan mahasiswa yang lain nyaman ketika belajar di kelas beliau.

Pada 18-19 September, program GKS menyelenggarakan Global Friendship Tour 2015 yang disponsori oleh Hyundai Motors. Even rekreasi ini diikuti oleh ratusan mahasiswa internasional dari beberapa kampus lainnya. Kami, rombongan mahasiswa Dongguk, pergi dengan dua unit bus. Pertama, kami berkunjung ke pabrik mobil KIA di Hwaseong dimana kami melihat langsung proses perakitan mobil buatan Korea ini dari awal hinggal akhir. Kemudian kami mengunjungi Gwangju Institute of Science and Technology di Provinsi Gwangju, pasar malam Daein Art, dan bermalam di Hwasun Kumho Resort. Esok harinya, kami melanjutkan perjalanan mengunjungi Damyang, sebuah perkampungan dimana kami belajar membuat manisan tradisional Korea. Sebelum kembali ke Dongguk, kami juga menikmati pemandangan alam yang indah di Damyang Metasequoia Road.

Masih banyak even-even lain yang diselenggarakan oleh program GKS, seperti international dinner, kuliah umum, berkunjung ke museum, kerajaan dan beberapa situs bersejarah lainnya. Selain itu, menjelang musim dingin, saya dan teman-teman lainnya juga mengikuti kegiatan voluntir yakni Kimjang, pembuatan kimchi, yang kemudian hasilnya didistribusikan kepada para kaum tua di distrik Singil, kota Seoul.

Belajar di sebuah negara yang memiliki iklim dan budaya yang sangat berbeda dengan Indonesia memberi saya begitu banyak ilmu dan pengalaman baru yang mengembangkan wawasan serta mengasah kemandirian saya. Itu semua tidak terlepas dari interaksi aktif saya selama program berlangsung. Tidak hanya menjalankan kegiatan-kegiatan program, saya juga membangun koneksi dengan teman-teman di Persatuan Pelajar Indonesia di Korea (PERPIKA) dan ASEAN Youth Network in Korea (AYNK).

Tidak terasa, Summer, Autumn hingga Winter saya lalui. Akhirnya, tibalah saatnya untuk saya kembali ke Aceh pada 22 Desember 2015. Tentu saja persahabatan dan kekeluargaan yang telah saya bangun dengan orang-orang luar biasa yang saya jumpai di Korea membuat saya enggan untuk berpisah. Ditambah lagi dengan kenyamanan belajar dan tinggal di kota Seoul membuat saya berat untuk meninggalkan negeri ini. Namun, saya harus pulang untuk melanjutkan perjuangan saya di Aceh.”

No comments:

Post a Comment