Aku punya impian, yang mungkin bagi sebagian orang adalah sesuatu yang sulit untuk dicapai, akan tinggal hanya sebagai sebuah impian saja. Untuk gadis dari desa sepertiku yang tidak punya uang banyak untuk jalan-jalan ke luar negri, apalagi ke Amerika, kedengarannya impianku ini benar-benar mustahil untuk diwujudkan. Rasanya sama saja seperti mengharapkan si kucing abu-abu kesayanganku yang sudah tua berubah menjadi unicornberwarna pink, ya, sesuatu yang sama sekali mustahil! Tapi bagiku, tidak ada yang mustahil sepanjang kita berusaha keras mencapainya.
Ceritanya
bermula dari suatu siang di bulan Juni 2013, waktu itu aku dengan teman-temanku
lagi nunggu dosen untuk mata kuliah Public Speaking. Mereka asyik ngobrol
tentang salah seorang senior kami yang baru pulang dari ngikutin program
pertukaran pelajar selama setahun di Amerika. Mendengar cerita teman-teman,
anganku melambung tinggi, seolah-olah aku berlari di atas pasir pautih di tepi
pantai dengan pemandangan laut yang mempesona, tapi anehnya, aku tidak bisa
menikmatinya, karena ada ular hitam jelek yang mengejarku, piuf! Saat itu
rasanya hormon epinephrine masuk ke darahku,
membuat nafasku tersengal-sengal dan hatiku berdegup kencang. Aku merasa sangat
excited, terispirasi, juga iri, semua
terjadi pada saat yang bersamaaan.
Selanjutnya
yang aku sadari, aku asyik men-scroll
layar telpon genggamku, seharian membaca
tweets seniorku tentang bagaimana dia
bisa mengikuti program pertukaran pelajar tersebut. Rasanya tidak percaya bahwa
aku begitu terobsesi dengan pengalaman seniorku tinggal dan belajar di Amerika.
Akhirnya, di suatu hari yang cerah di bulan Agustus 2013, aku memantapkan diri
mengisi form Global UGRAD Program. Program inilah yang membuatku bisa
menapakkan kaki dan mengalami hidup di Amerika, Thank You!
Lalu
mulailah fase demi fase seleksi kuikuti dengan penuh perjuangan dan
pengharapan. Mulai dari mempersiapkan dokumen yang dipersyaratkan, menjalani
interview dengan tenang, belajar siang malam untuk persiapan iBT test, dan menanti pengumuman dengan
sabar. Akhirnya, walaupun ada suara-suara sumbang yang menganggap perjuanganku akan sia-sia,
aku bisa membuktikan, bahwa aku berhasil memperoleh apa yang aku yakini aku
mampu menggapainya. Setelah menyisihkan
ribuan saingan, aku, bersama empat mahasiswa lainnya, lolos menjadi salah satu awardee
beasiswa Global Undergraduate
(UGRAD) Student Exchange Scholarship Program, beasiswa yang bergengsi dan
sangat kompetitif! Alhamdulillah…
Beasiswa ini diberikan oleh Department of States, yang diorganisir
oleh World
Learning, bertempat di Washington D.C. Aku mewakili Indonesia untuk belajar
di Missouri State University, dengan mengambil bidang Sastra Inggris. Sejak
saat itu, aku berkesempatan merasakan kehidupan kampus di Amerika, juga
berkenalan dengan banyak orang dari berbagai penjuru dunia.
Selama proses meng-apply beasiswa, aku juga menghadapi cobaan berupa cemoohan, bahkan
dari teman dekatku sendiri, yang menganggap bahwa anganku untuk kuliah di
Amerika adalah angan kosong belaka. Namun begitu, cemoohan yang kuterima malah
semakin menguatkan tekadku untuk meraih apa yang ku cita-citakan. Dan akhirnya
terbukti keberhasilanku memperoleh beasiswa UGRAD menjadi capaian terbesarku
selama masa kuliah s1-ku. Mottoku:
“No matter how many people tell you to
quit, DON'T! It's your dreams, not theirs.”
Aku berangkat ke Amerika pada Januari
2015, di musim dingin yang indah. Sebelum berangkat,
aku menyempatkan menginap semalam di Jakarta untuk keesokan harinya menuju
kantor AMINEF guna mengambil visa dan uang saku selama dalam perjalanan sebesar
$150. Ini pengalaman pertamaku ke luar negri, dan aku berangkat sendiri, ya,
benar-benar sendiri!. Rute yang kutempuh selam 28 jam adalah Banda
Aceh-Medan-Jakarta-Tokyo-Chicago-Springfield.
Pukul 01.00 malam waktu setempat barulah pesawat yang kutumpangi landing. Harusnya aku bisa tiba lebih
awal, namun pesawat harus delay lebih
kurang dua jam di Chicago karena badai salju, dan itulah kali pertama aku
melihat salju secara langsung, dari balik jendela pesawat...indah sekali…
Tiba di bandara, supervisorku yang baik
dan ganteng, Hunter Klie, sudah dari tadi menunggu. Setelah berbasa-basi
sebentar, aku pun diantar ke hotel kampus yang semua biayanya diurus oleh
supervisorku.
Keesokan harinya dengan dijemput
supervisorku yang menumpangi mini bus dari kampus, aku bersama peserta UGRAD
dari manca negara menuju kampus untuk mengikuti orientasi pengenalan kampus.
Kami menuju kampus masih sambil menenteng koper-koper kami. Orientasi yang
dilaksanakan dari pagi itu dimulai dengan jalan-jalan keliling kampus supaya
kami tahu dimana letak pustaka, ruang kuliah, kantin, dan lainnya. Hari itu
juga kami memperoleh ID card yang sudah terisi voucher untuk makan 3x sehari di
kantin dan berlaku selama kami tinggal di sana. Selain itu juga ada tambahan
sebesar $250 dolar untuk kami makan di PSU
(Plester Student Union). Selain voucer makan, ada juga voucer untuk menggunakan
computer, print, scan, dan fotocopy.
Sedikit aku ingin membahas soal
makanan. Di kota Springfield ini, aku tak perlu khawatir soal kehalalan
makanan, karena di kantin kampus makanan yang halal memang diberi label halal. Pernah
ketika suatu ketika aku memesan beef
untuk makan siangku di rumah makan di luar kampus, sang chef mendatangiku
dengan mengatakan bahwa beef yang
kupesan tidak halal karena sebelumnya dia memasak pork menggunakan panci yang sama. Dia menawarkan bagaimana kalau
aku menunggu sedikit agak lama supaya dia bisa memasak pesananku dengan
menggunakan panci yang berbeda. Khawatir menunggu lama, aku mengganti pesananku
dengan memilih seafood. Hal ini tentunya terjadi karena aku memakai jilbab sebagai
identitas kemuslimanku. Begitulah hidup di Springfield, kota yang dihuni oleh
masyarakat yang mayoritas penduduknya beragama Nasrani, namun bersikap terbuka
untuk mereka yang memiliki keyakinan yang berbeda.
Ok, kita lanjut tentang hari pertamaku
di kampus ya. Setelah makan siang, kami diperkenalkan dengan dosen-dosen, para
staf di international office, juga saling berkenalan secara formal dengan
sesama peserta UGRAD. Sore hari barulah kami diantar ke asrama kampus. Aku
menempati asrama yang berbentuk apartemen yang diberi nama “Hammons House”.
Layaknya sebuah apartemen, asrama yang kutempati terdiri dari dua kamar yang
dihuni oleh dua student. Roommateku semuanya dari Amerika.
Mengenai biaya hidup (living allowance), ditransfer pada
tanggal 1 setiap bulan, jumlahnya $400. Jumlah ini sangat cukup karena hanya
digunakan untuk uang saku dan beli pulsa. Untuk beli buku ada dana lain. Begitu
pun seandainya aku ingin traveling, seperti yang pernah kulakukan misalnya, ke
New York (seorang diri loh!), aku tinggal mengirim email ke pihak sponsor, lalu
mereka akan mengirim form yang perlu ku isi untuk pencairan dana traveling.
Sebelum perkuliahan dimulai, aku
berkonsultasi terlebih dahulu dengan supervisorku tentang mata kuliah yang akan
kuambil. Disini aku boleh mengambil maksimal 15SKS, namun kuputuskan mengambil
12 SKS saja, yang terdiri dari dua mata kuliah seperti yang kuperoleh di negara
asal, satu mata kuliah tentang Amerika, dan satunya lagi mata kuliah bebas. Untuk
dua mata kuliah pertama aku mengambil writing composition yang tingkat
kesulitannya setingkat academic writing dan satu lagi mata kuliah literature.
Untuk mata kuliah academic writing, benar-benar kami diharuskan menulis tanpa
ada plagiat sama sekali, setiap kutipan harus ada referensinya yang mengacu
pada format MLA referencing. Lain lagi dengan mata kuliah Literature, yang
setiap minggunya kami diberi tugas mereview short
story, novel atau poetry yang
sudah ditentukan judulnya di buku panduan mata kuliah. Setiap minggu pasti ada
quiz karena nilai kehadiran dihitung berdasarkan kemampuan menjawab soal yang
diberikan. Jadi walaupun hadir di kelas tapi tidak bisa menjawab soal, dianggap
tidak hadir, tweng weng weng…
Kelas-kelas yang kuhadiri benar-benar
dijalankan dengan setepat-tepatnya oleh dosen pengasuh mata kuliah. Misalkan
masuk kelas pukul 15.00 dan berakhir pada pukul 16.40, maka kuliah tidak akan
dimulai sebelum tepat pukul 15.00 walaupun sang dosen sudah hadir di kelas
beberapa menit sebelumnya, juga tidak akan keluar dari kelas sebelum sesi
kuliah berakhir pada menit tersebut, piuh! Pernah suatu ketika terjadi badai
salju sehingga kelas harus diliburkan, tetap saja ada tugas yang diberikan.
Dua mata
kuliah lainnya, kupilih American Culture, yang metode kuliahnya didominasi
dengan presentasi in pair, dan kelas
Bahasa Spanyol level beginner. Kelas
yang terakhir ini diasuh oleh professor asal Venezuela. Semua mahasiswa di
kelas, kecuali aku, adalah rakyat Amerika, dan mereka sudah pernah mempelajari bahasa
Spanyol sebelumnya di sekolah menengah. Namun, walaupun aku satu-satunya
mahasiswa yang belum pernah bersentuhan dengan bahasa Spanyol, namun, akulah
yang paling unggul ketika diminta mengucapkan abjad bahasa Spanyol, ya, karena
cara pengucapannya kurang lebih sama dengan bahasa Indonesia, hehe… Juga ketika
diminta membaca sebuah essay pendek, akulah yang paling fasih:D
Selama mengikuti kuliah, aku tidak
memiliki masalah dalam menjalankan waktu shalat, karena memang aku memilih
kelas yang tidak berbenturan dengan jam melaksanakan shalat. Namun begitu, bagi
yang hendak menunaikan shalat, mereka diizinkan untuk keluar kelas, dan
peraturan itu tercantum di silabus semua mata kuliah. Ya, kebebasan beragama
benar-benar dijunjung tinggi, Alhamdulillah… Di Missouri State University ini memang tidak ada mushalla untuk shalat, tapi
ada ruangan di perpustakaan yang dapat dipergunakan untuk tempat menunaikan
shalat. Bagi yang ingin menunaikan shalat di Mesjid, biasanya untuk shalat
Jum’at, masjid terdekat hanya berjarak 15 menit dari kampus dengan mobil.
Di Missouri State University ini, ada kelas Religious Studies. Setiap minggunya diadakan sesi untuk menjelaskan dan
mengetahui lebih banyak tentang agama lain. Kebetulan minggu itu adalah sesi untuk agama Islam. Mahasiswa muslim yang
akan menghadiri acara itu hanya sekitar tiga orang, termasuk aku.
Pada hari yang telah ditentukan, aku
pun hadir di kegiatan tersebut, ternyata, dua mahasiswa muslim lainnyatidak
jadi hadir, walhasil, hanya aku sendiri yang muslim dan sendiri juga untuk
menjawab berbagai pertanyaan yang menghadang, piuh! Memulai acara, aku ditodong
untuk memberi presentasi dengan judul “Women in Islam”. Tanpa persiapan, karena
memang tidak ada pemberitahuan sebelumnya, maka, “Bismillah”, ku awali dengan,
“Women in Islam are just like women in the other part of this world, they study, eat and poop,”
yang langsung disambut dengan tawa dari hadirin. Presentasi yang berlangsung
selama 90 menit berjalan lancar. Lalu
disambung dengan tanya jawab, macam-macam pertanyaan yang mereka lontarkan,
mulai dari wajibkah berhijab, tentang shalat,
larangan memakan babi, pluralisme di Indonesia, relationship (taaruf)….. dan
lain-lain.
Hari-hariku di negeri Paman Sam adalah
hari-hari indah yang tak terlupakan. Aku berteman dengan orang-orang yang tidak
seumuran denganku, hang out dengan
teman-teman yang bahasa ibunya tidak sama denganku. Aku juga berkesempatan
mempelajari budaya yang berbeda, jalan-jalan ke tempat-tempat yang indah. Aku
menari dengan gaya yang aneh di depan khalayak. Menyampaikan pidato dengan
bahasa Inggris sebisaku di depan orang ramai, bahkan mengatakan hal yang tolol
tapi lucu dalam bahasa yang sedang kupelajari-bahasa Spanyol. Namaku juga
selalu salah disebut setiap kali aku memesan Starbucks. Aku juga tidak tau cara
menyetor uang koin, jadi terpaksa uang koinnya kudeposit
semua hahaha juga
terkadang pakai baju yang tidak sesuai dengan cuaca karena aku tidak pernah
mengecek prakiraan cuaca. Aku juga sempat berlibur ke New York City selama
seminggu, sendirian! Dan aku merasa sangat bahagia, berkesempatan pergi ke mana
saja, rasanya seperti gelembung sabun yang bebas terbang! akhirnya, aku bisa
merasakan salju, yeay! Ya, pengalaman ini menjadi hal terindah dalam hidupku.
Akhirnya saat itu tiba, aku harus
kembali ke Aceh, Indonesia, menjalani hari-hariku kembali sebagai mahasiswi
Pendidikan Bahasa Inggris di Universitas Syiah Kuala. Ada rasa aneh yang
kurasakan ketika meninggalkan Amerika; bahwa aku kembali, tapi dengan pribadi
yang berbeda. Ya, kesempatan menjadi seorang exchange student telah membuka mataku tentang dunia dan
harapan-harapan baru untuk masa depanku, dan aku merasa sangat bersyukur kepada
Allah, juga berterima kasih pada semua orang, yang telah membuat impianku
menjadi kenyataan…
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteAssalamualaikum kak Dian Fajrina. What a story you got!!! Aku jadi terinspirasi dengan dengan cerita kakak 👍🏻
ReplyDeleteInspiring kak..
ReplyDeletePengen tau soal kakak, tapi cari di ig nya ngk nemu..
Assalamu'alaikum. Kak, boleh share email/socmednya? Sy ingin nanya2 seputar ugrad program ini
ReplyDeleteKa kalau ikut program ini, kuliahnya cutikah?
ReplyDelete