Friday, 20 January 2017

Kuliah S2: Diantara Perjuangan Merawat Bayi dan Anak yang Mengidap Retinoblastoma (Part 8-The End)



Sementara itu, satu-satunya teman yang mengetahui keadaan kami adalah Kak Uci, atau Cut Afrianandra, dosen di Fakultas Ekonomi UNSYIAH, yang juga teman yang selalu meng-update keadaan Sarah, karena memang kami sudah berteman dari masih training di IALF Jakarta. Juga karena Sarah dan anaknya, Rahil, hanya berjarak umur dua minggu saja, dan sama-sama lahir di Jakarta. Jadi dari awal memang segala persoalan, sering kuceritakan pada kak Uci yang sudah seperti kakak bagiku. Saat itu, aku berpesan pada kak Uci agar jangan menceritakan kesulitan yang sedang kami hadapi. Alasannya, kami sedang sibuk packing, dan kami mungkin tidak bisa menerima tamu dengan selayaknya. Namun, hati kak Uci tidak sanggup melihat keadaan kami, maka beliau pun curhat melalui email pada teman yang juga berasal dari Aceh, Bang Ardi.
Bang Ardi lalu mengambil kesimpulan, akan melakukan penggalangan dana usai jumatan di kampus. Subhanallah, saat itu juga terkumpul lebih dari AUD 1000. Teman-teman juga mulai berdatangan ke rumah kami, setelah sebelumnya minta izin untuk datang melalui telepon. Alhamdulillah…semuanya ikut menyumbang, malah ikut mengangkat furniture kami untuk disimpan sementara kami pulang ke Aceh di rumah Dwi, teman yang tinggal di apartemen yang sama, dan juga sering ambil mata kuliah yang sama denganku, karena Dwi juga dosen Bahasa Inggris di Pontianak. Kak Uci merasa bersalah dengan kehadiran teman-teman ke rumah kami, namun kami mengatakan bahwa langkah yang kak Uci ambil sudah tepat, kami benar-benar merasa memiliki keluarga besar di negri orang. 
Seminggu setelah vonis “tak tertolong lagi” itu, kami pun terbang pulang ke Aceh menumpangi Malaysian Airlines. Karena pesawat tiba di bandara KLIA malam hari, sedangkan pesawat Air Asia yang ke Aceh baru ada keesokan harinya, maka malam itu kami menginap semalam di rumah pakcik tempat kami menumpang saat pertama kali membawa Sarah berobat di Kuala Lumpur. 
Esoknya, tiba di kampung halaman, kami sudah disambut oleh keluarga tercinta.  Hari-hari di Aceh kami lalui dengan memberikan Sarah obat dari Dokter di Adelaide. Selain itu, kami juga memberi Sarah nasi diblender dan suplemen berupa cairan spirulina dan Klorofil. Saat itu Sarah tak mampu mengunyah makanan lagi, karena kankernya seolah sudah masuk ke mulut karena gigi-gigi Sarah sudah ada bagian yang agak terangkat. Sarah juga tampak lemah. Dengan dana dari teman-teman, Sarah kami belikan trolley atau kereta dorong, jadi kadang-kadang Sarah saya bawa jalan-jalan pagi di jalan sekitar rumah kami. Begitupun sore hari, kami tidurkan Sarah di trolley untuk didorong ke ruang tengah dan ruang tamu rumah kami. Jadi tidak di dalam kamar saja. 
Tepat empat minggu di Aceh, pada Senin, 6 oktober 2008 tengah malam, Sarah meninggalkan dunia ini untuk selama-lamanya… Kepergian Sarah kukabarkan pada dokter Sarah di Adelaide dan ia mengucapkan terima kasih karena aku telah menghubunginya.
Akhir Januari 2009, kami kembali ke Adelaide. Karena kami tidak lagi punya rumah, untuk sementara kami menumpang di rumah teman yang juga dari Aceh. Alhamdulillah, baru empat hari di Adelaide, Dwi, teman yang satu apartemen dengan kami menghubungi, katanya ada penyewa salah satu apartemen yang pindah. Segera kuhubungi Leo, landlord kami yang baik hati, mengatakan bahwa kami ingin kembali menempati apartemennya. Alhamdulillah dia langsung setuju. Maka setelah seminggu kami menumpang di rumah teman, kamipun kembali ke apartemen lama kami, namun kini tinggal di pintu no.4, sebelumnya di pintu no.11. 
Tidak lama kemudian, aku kembali menjalani hari-hari sebagai mahasiswa. Di akhir semester tiga, aku mulai pregnant lagi, untuk anak ketiga kami. Saat itu rumah kami sudah bertambah satu anggota, yaitu Faisal, mahasiswa jurusan Kelautan asal Aceh yang tinggal temporary di rumah kami. Sekitar empat bulan Faisal tinggal bersama kami, membuat kami merasa sudah seperti keluarga.
Akhirnya pada awal Desember 2009, kami pun berangkat pulang ke Aceh. Aku memutuskan tidak mengikuti wisuda yang dilaksanakan pada tanggal 16 Desember karena kehamilanku yang sudah memasuki usia 34 minggu. 
Sangat banyak kenanganku di Adelaide, terutama kenangan akan arti persahabatan dan rasa kekeluargaan… Jazakumullah khairan katsiiraa..Terima Kasih tak terhingga kuucapkan pada keluargaku, terutama Mamak yang senantiasa bersama kami, Bapak yang sangat concern dengan keadaan kami, terutama keadaan finansial, Pakcik Ali dan sekeluarga yang telah rela berkali-kali direpotkan dengan kehadiran kami di rumahnya, juga pada teman-temanku, semoga persahabatan ini terus berlanjut walaupun hanya bertemu di facebook…:D (part 8-end)

Wednesday, 18 January 2017

Kuliah S2: Diantara Perjuangan Merawat Bayi dan Anak yang Mengidap Retinoblastoma (Part 7)



Sementara itu, di penghujung Juli, Sarah mulai tampak kurang ceria, dan wajahnya sembab, agak bengkak. Awal Agustus, dengan berbekal hutang dari teman-teman yang berasal dari Aceh, kami sekeluarga terbang menuju Kuala Lumpur, menginap di rumah pakcik, untuk kemudian diantar ke Penang. Di Kuala Lumpur, ayah mertua dan adik laki-laki suami yang bungsu telah tiba di rumah pakcik untuk bertemu dengan kami karena kami memang tidak berencana kembali ke Aceh karena keadaan yang memang bukan dalam masa libur semester. Kami ke Penang diantar oleh pakcik dengan kendaraan pribadinya. Tiba di Penang, setelah berkonsultasi dan membeli obat, kami lantas kembali ke Kuala Lumpur. Sekitar delapan hari di Kuala Lumpur, kami kembali ke Adelaide. 

Beberapa hari di Adelaide, aku membawa Sarah untuk cek up mata palsunya. Namun, karena sekitar mata kanan Sarah mulai membiru, oleh Peter, yang membuat dan mencek up mata Sarah, aku disarankan segera melapor ke WCH. Dia khawatir ada darah yang membeku di sekitar mata Sarah. Aku menuruti anjurannya. Di WCH, kembali aku membuat appointment untuk scan mata Sarah. 

Saat itu sudah menjelang akhirAgustus, ketika mata Sarah kembali di scan, dan kali ini kakinya yang sebelah kiri juga di x-ray,  karena mulai membengkak. Sesekali memang Sarah mengeluh kakinya sakit. Sekitar lima hari setelah itu, kami sekeluarga ke WCH, untuk mendengar penjelasan hasil scan dan x-ray. Ternyata sesuatu yang sangat tidak kuharapkan: Dokter menyerah!, kanker dalam tubuh Sarah sudah menjalar ke kakinya. Tak kuasa aku menahan tangis sambil menatap Sarah yang juga tidak lagi ceria. 

Keesokan hari, aku bersama adik Sarah yang masih berumur delapan bulan dan masih tidur dalam baby trolley, menuju ke ruang international office di Flinders University, setelah sebelumnya membuat appointment melalui email. Kujelaskan kondisi Sarah, dan keinginanku untuk mengambil cuti satu semester karena akan membawa Sarah pulang ke BandaAceh untuk menunggui ajalnya. Aku juga bertanya apakah akan ada bantuan biaya untuk tiket pesawat kami. Oleh pihak international office, mereka mengatakan aku tidak perlu mengurus apapun yang berhubungan dengan kuliah, karena akan mereka tangani. Sedangkan untuk tiket pulang, pihak sponsor, yaitu ADS, tidak memiliki alokasi dana untuk kasus seperti yang kualami, tapi mereka akan menghubungi pihak asuransi.

Pulang ke rumah, suamiku mengatakan sebaiknya kami segera pulang ke Aceh, dan dia sudah mencek harga tiket pesawat Malaysian Airlines yang sedang promo untuk Selasa minggu berikutnya, hanya AUD $1500 untuk kami sekeluarga. Segera kutelpon Bapak, menjelaskan kondisi Sarah dan kondisi keuangan kami. Alhamdulillah Bapak mengatakan akan segera mentransfer uang untuk biaya tiket. Ternyata kemudahan urusan dan rezeki terus berdatangan. Yayasan kanker melalui Sue, Social Worker yang bertugas di bagian kanker di WCH, menghubungi kami dan mengatakan akan membayar tiket kami. 

Tak lama, aku mendapat telpon dari pihak asuransi yang mengatakan akan membayar tiket pulang juga. Lalu dengan jujur kukatakan bahwa tiket kami sudah ditanggung pihak yayasan kanker. Namun officer di ujung telpon mengatakan bahwa dia akan menyampaikan hal itu pada bosnya. Selang sehari, pihak asuransi mengirim email mengatakan bahwa mereka akan tetap membayar tiket kami dengan cara mentransfer uang sejumlah biaya tiket ke rekeningku.

Monday, 16 January 2017

Kuliah S2: Diantara Perjuangan Merawat Bayi dan Anak yang Mengidap Retinoblastoma (Part 6)




Dalam perjalanan menuju WCH, Mamak berusaha menenangkan kami, walaupun awalnya Mamak bersikeras Sarah jangan dibawa ke RS, tapi Mamak yakin, ini semua skenario Allah, dan Allah yang Maha Tahu apa yang terbaik untuk kami. Tiba di RS, kami sudah ditunggu oleh pihak Family SA, lalu kami pun melapor ulang dan Sarah dijadwalkan untuk scan mata pada 7 Desember. Minggu berikutnya, tanggal 13 Desember, kami kembali ke WCH, kali ini Sarah harus menginap dua malam untuk operasi mata yang dijadwalkan pada tanggal 14 Desember, hari perkiraan aku akan melahirkan adiknya Sarah yang ternyata tertunda. Pekan berikutnya, tanggal 19 Desember, yang bertepatan dengan hari raya Idul Adha, kembali Sarah harus menginap dua malam di WCH untuk kemoterapi pertama. Setelah menunaikan shalat hari raya, kami pun langsung menuju WCH. 

Malam-malam Sarah di WCH ditemani Mamak, karena hanya satu orang yang boleh ikut menginap bersama pasien. Karena kondisi kehamilanku, maka kami memutuskan Mamaklah yang menginap. Kami biasanya pulang ketika Sarah sudah tidur. Tanggal 20 malam, aku mulai merasakan tanda-tanda akan melahirkan. Kami memutuskan tidak ke Flinders Hospital, RS dimana aku tercatat sebagai pasiennya, tapi kami langsung ke bagian persalinan di WCH. Setelah diperiksa oleh bidan yang bertugas malam itu, aku dibolehkan menginap ditemani suamiku. Bidan datang tiap jam mengecek kondisiku. Akhirnya, subuh pagi itu aku diminta masuk ke ruang bersalin. Anak kedua kami, laki-laki, lahir melalui persalinan normal pada pukul 10.32 pagi waktu setempat. 
Hari itu hari Jum’at, dan Sarah sudah diperbolehkan pulang siang itu selesai jumatan. Sementara aku pulang setelah isya dijemput suami dan tetangga kami, Mbak Tika dan keluarganya dengan tidak lupa membawa kuah soto untuk makan malamku, thanks so much Mbak…  
 
Perawatan untuk Sarah terus berlanjut setiap minggunya berupa cek darah, dan kemoterapi setiap 3 minggu. Mata Sarah juga regular di scan setiap selesai 2x kemoterapi. Karena Mamak hanya bisa menemani kami selama tiga bulan, maka memasuki semester dua, aku mengambil mata kuliah intensif, dimana aku hanya perlu masuk kelas satu bulan 1x untuk tiap mata kuliah yang ku ambil, total ada 3 mata kuliah. Selebihnya adalah membaca dan menulis paper. Mata kuliah yang kuambil adalah mata kuliah yang ada di jurusan Education, jadi bukan mata kuliah pendidikan Bahasa Inggris/TESOL, karena tidak ada mata kuliah TESOL yang dapat diambil dengan intensive mode. Aku sengaja tidak mengambil spesialisasi, jadi aku bebas mau ambil mata kuliah apa saja yang kusesuaikan dengan kebutuhanku. Dengan cara ini, aku bisa menemani Sarah ke WCH setiap minggunya. 

Kuliah semester dua berakhir di akhir Juni, begitu juga siklus kemoterapi yang harus dijalani Sarah. Scan mata ketiga masih agak lama jadwalnya karena banyak pasien yang antri. Selama perawatan, Sarah tampak sehat dan ceria walaupun rambutnya rontok dan biasanya muntah di malam pertama setelah kemoterapi. Tapi setelah muntah dan mual hilang, Sarah akan kembali ceria dengan loncat-loncat di atas kasur. 

Awal bulan Juli aku masih pergi mengunjungi teman yang baru melahirkan di Flinders Hospital bersama Sarah.


Namun setelah scan mata terakhir, dokter mengatakan bahwa kankernya sudah mulai menjalar. Dokter memberi opsi untuk kemoterapi lanjutan dengan dosis obat yang ditambah, dengan resiko Sarah mungkin harus menginap di WCH karena akan butuh transfuse darah, atau di radioterapi, yang akan berdampak pada wajah kanannya akan tampak seperti hangus, dan itu permanen. Tentu saja mendengar penjelasan dokter, aku jadi bingung, karena aku sangat mengharapkan Sarah akan sembuh. Saat itu, seperti biasa, aku hanya ke WCH berdua Sarah, akhirnya setelah menelpon suami, aku memutuskan untuk setuju Sarah mendapatkan kemoterapi lanjutan.

Tiba di rumah, kami mendiskusikan lebih lanjut tentang opsi pengobatan untuk Sarah. Akhirnya kami putuskan untuk meneruskan pengobatan herbal, kali ini tujuan kami ke pusat pengobatan khusus kanker dengan terapi herbal di Penang, Malaysia. Dengan pihak WCH, aku membatalkan appointment untuk kemoterapi lanjutan dan mengatakan akan membawa Sarah berobat di Malaysia saja. Khawatir Dokter akan melarangku, aku beralasan bahwa aku akan segera memasuki kuliah setelah semester break, dan di Malaysia, ada Mamak yang akan menemani Sarah.

Thursday, 12 January 2017

Kuliah S2: Diantara Perjuangan Merawat Bayi dan Anak yang Mengidap Retinoblastoma (Part 5)



Sementara menunggu obat tiba, Sarah tampak seperti mulai meriang, tapi tidak rewel, mata sebelah kanannya dari hari ke sehari membengkak. Awalnya kami membawanya ke dokter umum, karena berharap Sarah hanya demam biasa. 

Hari Kamis minggu itu, Mamakku datang dari Banda Aceh, karena akan menungguiku melahirkan anak kedua kami, di liburan musim panas.  Siang itu, setelah berembuk dengan Mamak, kami membawa Sarah ke Flinders Hospital. Tiba di sana, kuceritakan sakit yang diderita Sarah, lalu untuk memastikan, mereka membalut Sarah dengan kain putih besar dan mengikatnya, karena Sarah pastinya meronta, walaupun kami yang di sisinya berusaha menenangkan. Setelah diteliti, dokter yang memeriksa merujuk kami untuk membawa Sarah berobat di Women and Children Hospital (WCH) yang terletak di pusat kota Adelaide dan berjarak sekitar 30 menit dari rumah kami. 

Sore itu, tiba di WCH, kuberi penjelasan yang sama seperti yang kuberikan di Flinders hospital, dan kembali Sarah dibalut dengan kain putih. Tak tega rasanya, tapi memang harus begitu prosedurnya… Lalu dokter meminta kami untuk menginap di RS malam itu juga, supaya besoknya mata Sarah bisa discan. Mendengar hal tersebut, jelas kami jadi bingung, karena tidak punya persiapan untuk opname. Akhirnya aku bertanya, apakah akan ada treatment tertentu pada malam itu yang akan diberikan ke Sarah? Ternyata tidak ada. Kami pun meminta supaya diizinkan pulang dan mengatakan akan balik besok pagi sebelum dokter yang akan memeriksa Sarah tiba. Kami pun diizinkan pulang.

Tiba di rumah, setelah Sarah tidur, kami berembuk. Rupanya suami dan Mamakku tidak setuju Sarah menjalani pengobatan medis, karena toh selama ini Sarah sehat-sehat saja dengan mengkonsumsi obat homeopathy. Mamak khawatir melihat efek kemoterapi pada pasien-pasien kanker, Mamak bilang, “mereka hidup, tapi sudah tidak seperti manusia normal lagi”. Begitulah efek kemoterapi yang saat itu masih sangat asing kedengaran di telingaku, bahwa kemoterapi selain akan menyebabkan penderita kanker jadi botak, juga jadi rusak otaknya, hingga menjadi seperti orang yang cacat mental. 

Paginya, suamiku mulai mencari alamat pengobatan homeopathy di Adelaide melalui internet, karena Sarah tidak menunjukkan tanda-tanda akan sembuh. Aku pun mulai menelpon beberapa klinik tersebut. Namun semuanya minta aku membuat appointment dulu, karena pasien mereka pada hari itu sudah penuh. Kujawab, anakku tidak bisa menunggu appointment yang dijadwalkan hari Senin. Dalam kebingungan hendak kemana mencari obat untuk Sarah, tiba-tiba HP ku berdering, ternyata salah satu klinik homeopathy yang kuhubungi sebelumnya. Suara di seberang mengatakan aku boleh membawa Sarah ke kliniknya pada pukul 12 siang itu, Alhamdulillah…  

Setelah mengkonsumsi obat homeopathy, mata Sarah yang bengkak mulai menipis. Sementara itu, karena data Sarah sudah di record di WCH, akupun ditelpon oleh pihak RS. Kujawab, bahwa kami tidak jadi bawa Sarah ke RS, ditanya lagi, apakah aku mau dibuatkan jadwal scan yang baru? Aku jawab tidak perlu karena Sarah sudah ada obat. Ternyata, panggilan telpon dari WCH tidak berhenti di situ…

Seninnya, pakar mata yang sedianya akan menangani Sarah menelponku, jelas sekali dia sangat gusar dengan keputusan kami yang tidak mau membawa Sarah ke RS, hingga ia mengatakan, “Do you realize that you’re gonna kill your daughter?!” akhirnya pembicaraan di telpon kuakhiri dengan mengatakan bahwa aku akan mendiskusikan lagi dengan keluarga tentang Sarah. 

Esok hari, Selasa, kembali nomor tak dikenal menghubungiku, namun baterai hp terlanjur mati sebelum hp sempat kuangkat. Rabu siang, ketika aku sedang berwudhu untuk shalat Dhuhur, tiba-tiba suamiku mengetuk pintu kamar mandi, mengatakan ada bule datang, sambil menyodorkan jilbab untuk kukenakan. Ternyata, mereka dari Family South Australia (SA). Mereka datang karena mendapat laporan tentang keadaan Sarah. Aku dan Mamak yang guru bahasa Inggris, mencoba menjelaskan pada mereka, yang terdiri dari seorang perempuan, laki-laki yang sudah tua, dan laki-laki yang berbadan seperti algojo, bahwa Sarah sudah banyak peningkatan. Kutunjukkan foto Sarah dengan mata bengkak lima hari sebelumnya, dan yang bisa mereka lihat sendiri pada hari itu, sudah tidak bengkak lagi, sebuah progress yang sangat cepat. Namun, si perempuan sebagai juru bicara menjelaskan dengan suara perlahan tapi tegas, bahwa kami tetap harus membawa Sarah ke WCH, kalau tidak, terpaksa Sarah mereka ambil paksa dan akan mereka tangani. Tidak ada jalan lain, kami pun akhirnya menuruti permintaan mereka dengan mengatakan bahwa kami butuh waktu sebentar untuk shalat dan akan menyusul mereka ke WCH. 

Wednesday, 11 January 2017

Kuliah S2: Diantara Perjuangan Merawat Bayi dan Anak yang Mengidap Retinoblastoma (Part 4)



Pagi hari, kami tiba di bandara internasional di Sydney, di sini kami harus turun untuk transit dan berganti pesawat. Ada satu kejadian yang masih kuingat ketika di bandara itu. Tiba-tiba saja datang seorang petugas yang menanyakan apakah aku bersedia untuk menjalani random check? Karena aku tidak merasa bersalah, tentu saja aku tidak keberatan, petugas pun menanyakan dengan cara yang  friendly. Lalu aku diminta masuk ke ruangan menyerupai lift bersama dua petugas, laki-laki dan perempuan, hanya di cek menggunakan alat pendeteksi sambil berbasa basi tentang tujuanku ke Australia. Proses random check hanya berlangsung sekitar satu menit dan setelah itu aku diizinkan keluar setelah mereka menyampaikan terima kasih atas kerjasamaku.

Tiba di Bandara Adelaide, kami sudah ditunggu oleh teman-teman senior dari Persatuan Pelajar Indonesia di Australia (PPIA). Kemudian dengan mengendarai minibus milik Flinders University, satu persatu dari kami diturunkan sebentar untuk menaruh koper-koper kami di apartemen-apartemen pelajar dari Indonesia yang akan kami tempati untuk sementara waktu. Tiap orang dari kami ditempatkan di apartemen yang berbeda. Setelah meletakkan koper di kamar yang telah disediakan untuk kami tempati dan berkenalan singkat dengan pemilik apartemen, kami langsung naik lagi ke mini bus yang membawa kami ke markas PPIA. Markas PPIA ini sebenarnya rumah yang disewa oleh pelajar Indonesia juga. Karena bentuknya rumah, bukan apartemen, jadi ruang yang tersedia lebih memungkinkan untuk mengadakan pertemuan. Letaknya juga strategis, berseberangan dengan terminal bus dan Marion Mall yang luas dan lengkap. 

Siang itu kami dijamu dengan kuah soto, kebersamaan begitu terasa. Setelah makan siang, kami diberi selembar kertas yg berisi alamat-alamat pusat perbelanjaan, juga tempat-tempat yang menjual daging halal. Kami juga dijelaskan cara naik bus, yang menggunakan system tiket, dan akan dapat potongan harga kalau kami membeli tiket pakai kartu mahasiswa kalau sudah punya nantinya.Naik bus di Adelaide juga sangat menyenangkan, karena sudah ada jadwalnya, yang bisa diperoleh di tempat-tempat umum seperti supermarket, kampus, rumah sakit, dan lainnya. Penjelasan penting lainnya yang disampaikan juga tentang kartu telpon. 

Sore itu, setelah selesai temu ramah, kami diantar ke Marion mall untuk membeli perlengkapan yang sangat kami butuhkan, semacam quilt (selimut khusus untuk musim dingin), converter, kartu telpon, dan lainnya. Aku sangat beruntung, karena sore itu juga aku langsung bisa menghubungi keluarga di Aceh, mengabari keadaanku yang sudah tiba dengan selamat, Alhamdulillah… (waktu itu belum pake hp yang online ke internet, jadi ga ada WA, Line, Tele atau akses ke facebook).

Keesokan hari, dengan teman-teman baru yang tinggal di apartemen yang sama, tapi beda pintu, kami menuju kampus untuk pertama kalinya. Tujuan kami untuk berkenalan dengan kampus, juga membuka buku rekening di bank yang ada di kampus. Setelah memiliki rekening, esoknya pihak sponsor langsung mentransfer dana ketibaan sebesar $5000, jumlah yang sangat besar… Namun uang tersebut tentunya tidak boleh digunakan sembarangan, sebagian kugunakan untuk menyewa rumah, sekaligus membayar bond rumah yang jumlahnya setara dengan nilai sewa untuk empat minggu. Bond ini akan dipulangkan lagi dalam keadaan utuh di akhir masa sewa bila si penyewa tidak dengan sengaja merusak rumah, semisal menempel stiker yang berakibat cat mengelupas, atau mengetuk paku di dinding, dan semisalnya. Aku juga membeli beberapa furniture yang dibutuhkan, pastinya yang second hand. Barang-barang second hand umumnya masih layak pakai dan dijual dengan harga yang sangat murah. 

Suamiku dan Sarah baru tiba di Adelaide tiga bulan kemudian, tepatnya pertengahan September, sehari sebelum Ramadhan tiba. Senang rasanya bisa berkumpul lagi dengan keluarga kecilku. Hari-hari dalam bulan puasa tidak terlalu sulit bagi kami, karena udara yang tidak panas, dan durasi berpuasanya pun lebih singkat, kurang lebih 12 jam. Selama di Adelaide, Sarah tetap mengkonsumsi obat homeopathy yang ikut dibawa dari Kuala Lumpur. Karena obat yang dibawa hanya untuk konsumsi dua bulan, maka di pertengahan Nopember, obat pun habis. Sebelumnya suamiku sudah menghubungi Pakcik yang di Kuala Lumpur, minta tolong dibelikan dan dikirim ke Adelaide. Namun obat yang kami tunggu terlambat tiba, yang ternyata dikarenakan harus dikarantina dulu di bandara.