Pagi
hari, kami tiba di bandara internasional di Sydney, di sini kami harus turun
untuk transit dan berganti pesawat. Ada satu kejadian yang masih kuingat ketika
di bandara itu. Tiba-tiba saja datang seorang petugas yang menanyakan apakah
aku bersedia untuk menjalani random
check? Karena aku tidak merasa bersalah, tentu saja aku tidak keberatan,
petugas pun menanyakan dengan cara yang friendly. Lalu aku diminta masuk ke
ruangan menyerupai lift bersama dua petugas, laki-laki dan perempuan, hanya di
cek menggunakan alat pendeteksi sambil berbasa basi tentang tujuanku ke
Australia. Proses random check hanya berlangsung sekitar satu menit dan setelah
itu aku diizinkan keluar setelah mereka menyampaikan terima kasih atas
kerjasamaku.
Tiba
di Bandara Adelaide, kami sudah ditunggu oleh teman-teman senior dari Persatuan
Pelajar Indonesia di Australia (PPIA). Kemudian dengan mengendarai minibus
milik Flinders University, satu persatu dari kami diturunkan sebentar untuk
menaruh koper-koper kami di apartemen-apartemen pelajar dari Indonesia yang
akan kami tempati untuk sementara waktu. Tiap orang dari kami ditempatkan di
apartemen yang berbeda. Setelah meletakkan koper di kamar yang telah disediakan
untuk kami tempati dan berkenalan singkat dengan pemilik apartemen, kami
langsung naik lagi ke mini bus yang membawa kami ke markas PPIA. Markas PPIA
ini sebenarnya rumah yang disewa oleh pelajar Indonesia juga. Karena bentuknya
rumah, bukan apartemen, jadi ruang yang tersedia lebih memungkinkan untuk
mengadakan pertemuan. Letaknya juga strategis, berseberangan dengan terminal
bus dan Marion Mall yang luas dan lengkap.
Siang
itu kami dijamu dengan kuah soto, kebersamaan begitu terasa. Setelah makan
siang, kami diberi selembar kertas yg berisi alamat-alamat pusat perbelanjaan, juga
tempat-tempat yang menjual daging halal. Kami juga dijelaskan cara naik bus,
yang menggunakan system tiket, dan akan dapat potongan harga kalau kami membeli
tiket pakai kartu mahasiswa kalau sudah punya nantinya.Naik bus di Adelaide
juga sangat menyenangkan, karena sudah ada jadwalnya, yang bisa diperoleh di
tempat-tempat umum seperti supermarket, kampus, rumah sakit, dan lainnya.
Penjelasan penting lainnya yang disampaikan juga tentang kartu telpon.
Sore
itu, setelah selesai temu ramah, kami diantar ke Marion mall untuk membeli
perlengkapan yang sangat kami butuhkan, semacam quilt (selimut khusus untuk
musim dingin), converter, kartu telpon, dan lainnya. Aku sangat beruntung,
karena sore itu juga aku langsung bisa menghubungi keluarga di Aceh, mengabari
keadaanku yang sudah tiba dengan selamat, Alhamdulillah… (waktu itu belum pake hp yang online ke internet, jadi ga ada WA, Line, Tele atau akses ke facebook).
Keesokan
hari, dengan teman-teman baru yang tinggal di apartemen yang sama, tapi beda
pintu, kami menuju kampus untuk pertama kalinya. Tujuan kami untuk berkenalan
dengan kampus, juga membuka buku rekening di bank yang ada di kampus. Setelah
memiliki rekening, esoknya pihak sponsor langsung mentransfer dana ketibaan
sebesar $5000, jumlah yang sangat besar… Namun uang tersebut tentunya tidak
boleh digunakan sembarangan, sebagian kugunakan untuk menyewa rumah, sekaligus
membayar bond rumah yang jumlahnya
setara dengan nilai sewa untuk empat minggu. Bond ini akan dipulangkan lagi dalam keadaan utuh di akhir masa
sewa bila si penyewa tidak dengan sengaja merusak rumah, semisal menempel
stiker yang berakibat cat mengelupas, atau mengetuk paku di dinding, dan
semisalnya. Aku juga membeli beberapa furniture yang dibutuhkan, pastinya yang second hand. Barang-barang second hand umumnya masih layak pakai
dan dijual dengan harga yang sangat murah.
Suamiku
dan Sarah baru tiba di Adelaide tiga bulan kemudian, tepatnya pertengahan
September, sehari sebelum Ramadhan tiba. Senang rasanya bisa berkumpul lagi
dengan keluarga kecilku. Hari-hari dalam bulan puasa tidak terlalu sulit bagi
kami, karena udara yang tidak panas, dan durasi berpuasanya pun lebih singkat,
kurang lebih 12 jam. Selama di Adelaide, Sarah tetap mengkonsumsi obat
homeopathy yang ikut dibawa dari Kuala Lumpur. Karena obat yang dibawa hanya
untuk konsumsi dua bulan, maka di pertengahan Nopember, obat pun habis.
Sebelumnya suamiku sudah menghubungi Pakcik yang di Kuala Lumpur, minta tolong
dibelikan dan dikirim ke Adelaide. Namun obat yang kami tunggu terlambat tiba,
yang ternyata dikarenakan harus dikarantina dulu di bandara.
No comments:
Post a Comment